Rabu, 30 Desember 2015

Pendidik



 PENDIDIK

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai sebaik – baik makhluk. Allah memberikan manusia akal dan pikiran tidak lain untuk beribadah dan bersyukur kepada Allah. Bersyukur atas nikmat Allah dapat direalisasikan dengan cara belajar kemudian apabila sudah mengetahui dan mampu memahami ilmu pengetahuan, manusia wajib mengajarkannya kepada orang lain yang belum mengetahuinya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pendidik?
2.      Apa ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan pendidik?
3.      Apa hadist yang berkaitan dengan pendidik?
4.      Bagaimana tafsir Al Qur’an mengenai pendidik?
5.      Bagaimana tafsir hadist mengenai pendidik?
6.      Bagaimana kontekstualisasi isi ayat dan hadits yang terkait?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendidik
Dari segi bahasa pendidik adalah orang yang mendidik. Didalam Al – Qur’an ditemukan beberapa kata yang menunjukkan kepada pengertian pendidik, diantaranya:
a.       Muallim, adalah orang yang menguasai ilmu, mampu mengembangkannya dan menjelaskan fungsinya dalam kehidupan serta menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya sekaligus.
b.      Mudarris, adalah pendidik yang mampu menciptakan suasana pembelajaran yang dapat dialogis dan dinamis, mampu membelajarkan peserta didik dengan belajar mandiri atau memperlancar pengalaman belajar pengalaman belajar.
c.       Mukhlis, adalah pendidik yang melaksanakan tugasnya dalam mendidik dan mengutamakan motivasi ibadah yang benar – benar ikhlas karena Allah.
Jadi pendidik adalah seseorang yang mempunyai ilmu kemudian memberikannya atau mengajarkannya kepada orang lain baik berupa pengetahuan, keterampilan maupun pengalaman.
B.     Ayat Al - Qur’an yang berkaitan dengan pendidik
1.      Ar Rahman ayat 1-4
اَلْرحْمنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْانَ (2) خَلَقَ الْإِ نْسَا نَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَا نَ (4)

Artinya:
(1) (Allah) Yang Maha Pengasih, (2) Yang telah mengajarkan Al-Qur’an. (3) Diamenciptakan manusia, (4) mengajarnya pandai berbicara.

2.     Al Kahfi ayat 60-82

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60)فَلَمَّابَلَغَامَجْمَعَ بَيْنِهِمَانَسِيَاحُوتَهُمَافَاتَّخَذَسَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِسَرَبًا (61) فَلَمَّاجَاوَزَاقَالَ لِفَتَاهُ آتِنَاغَدَاءنَالَقَدْلَقِينَامِن سَفَرِنَاهَذَانَصَبًا (62) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْأَوَيْنَاإِلَى الصَّخْرَةِفَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَاأَنسَانِيهُ إِلَّاالشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَسَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِعَجَبًا (63) قَالَ ذَلِكَ مَاكُنَّانَبْغِ فَارْتَدَّاعَلَى آثَارِهِمَاقَصَصًا (64) فَوَجَدَاعَبْدًامِّنْ عِبَادِنَاآتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَاوَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّاعِلْمًا (65) قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّاعُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67) وَكَيْفَ تَصْبِرُعَلَى مَالَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرً (68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِن شَاءاللَّهُ صَابِرًاوَلَاأَعْصِي لَكَ أَمْرً(69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَاتَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍحَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرً (70) فَانطَلَقَاحَتَّى إِذَارَكِبَا فِي السَّفِينَةِخَرَقَهَاقَالَ أَخَرَقْتَهَالِتُغْرِقَ أَهْلَهَالَقَدْجِئْتَ شَيْئًاإِمْرًا (71) قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرً(72) قَالَ لَاتُؤَاخِذْنِي بِمَانَسِيتُ وَلَاتُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرً (73) فَانطَلَقَاحَتَّى إِذَالَقِيَاغُلَامًافَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِنَفْسٍ لَّقَدْجِئْتَ شَيْئًانُّكْرًا (74) قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِي صَبْرًا (75) قَالَ إِن سَأَلْتُكَ عَن شَيْءٍبَعْدَهَافَلَاتُصَاحِبْنِي قَدْبَلَغْتَ مِن لَّدُنِّي عُذْرً (76) فَانطَلَقَاحَتَّى إِذَاأَتَيَاأَهْل قَرْيَةٍاسْتَطْعَمَاأَهْلَهَافَأَبَوْاأَن يُضَيِّفُو هُمَا فَوَجَدَافِيهَا جِدَارًا يُرِيدُأَنْ يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْشِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77) قَالَ هَذَافِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْرً(78) أمَّاالسَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِفَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَاوَكَانَ وَرَاءهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُكُلَّ سَفِينَةٍغَصْبًا (79) وَأَمَّاالْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَاأَن يُرْهِقَهُمَاطُغْيَانًاوَكُفْرً(80) وَأَمَّاالْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَاأَن يُرْهِقَهُمَاطُغْيَانًاوَكُفْرً(81) وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا(82)

Artinya     :
(60) Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". (61) Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. (62) Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini". (63) Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali".(64) Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.(65) Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (66) Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (67) Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.(68) Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"(69) Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". (70) Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". (71) Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan enumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. (72) Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". (73) Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". (74) Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".(75) Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (76)Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". (77) Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".(78) Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (79) Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (80) Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. (81) Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). (82) Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".


C.     Hadits yang berkaitan dengan pendidik
Berkompeten sebagai pendidik, artinya sebelum mengajar seorang pendidik pernah belajar apa yang akan diajarkannya.
عن عثمان أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: خَيْركُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآن وَعَلَّمَهُ )الْبُخَارِيُّ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ(

Dari Usman, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar al-Qurân dan mengajarkannya”. (H.R Bukhari, Turmudzi, al-Nasai, dan Ibnu Majah)

Sifat guru yang tergambar dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daramiy adalah menerangkan untuk takut kepada Allah, tidak sombong, dzikir, serta memohon ampun kepada Allah.
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ مُسْلِمٍ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ : كَفَى بِالْمَرْءِ عِلْماً أَنْ يَخْشَى اللَّهَ ، وَكَفَى بِالْمَرْءِ جَهْلاً أَنْ يُعْجَبَ بِعِلْمِهِ. قَالَ وَقَالَ مَسْرُوقٌ : الْمَرْءُ حَقِيقٌ أَنْ تَكُونَ لَهُ مَجَالِسُ يَخْلُو فِيهَا فَيَذْكُرُ ذُنُوبَهُ فَيَسْتَغْفِرُ اللَّهَ- الدارمي

“Menceritakan kepada kami ahmad bin ‘abdullah, menceritakan kepada kami zaidah  dari al- a’masy dari muslim dari masruq berkata: Cukup bagi seseorang yang berilmu untuk takut kepada Allah. Dan cukup bagi seorang yang bodoh untuk membanggakan ilmunya. Muslim Berkata, dan masruq berkata: seseorang yang benar adalah apabila dia dalam majlis yang kosong didalamnya, maka ia akan mengingat dosanya dan memohon ampun kepada Allah”.
D.    Tafsir Al – Qur’an yang berkaitan dengan pendidik
a.       Kandungan Surat Ar Rahman ayat 1 – 4
Pada ayat 1 – 2, Allah yang Maha Pemurah menyatakan bahwa Dia telah mengajarkan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW yang selanjutnya diajarkan ke umatnya. Isi ayat ini mengungkapkan beberapa nikmat Allah atas hamba-Nya, maka surah ini dimulai dengan menyebut nikmat yang paling besar faedahnya dan paling banyak manfaatnya bagi hamba-Nya, yaitu nikmat mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia. Hal itu karena manusia dengan mengikuti ajaran Al-Qur’an akan berbahagia di dunia dan di akhirat dan dengan berpegang teguh pada petunjuk – petunjuk-Nya akan tercapai tujuan di kedua tempat tersebut. Al-Qur’an adalah induk kitab – kitab samawi yang diturunkan melalui makhluk Allah yang terbaik di bumi ini yaitu Nabi Muhammad SAW.
Pada ayat 3 – 4, Allah menyebutkan nikmat-Nya yang lain yaitu penciptaan manusia. Nikmat itu merupakan landasan nikmat – nikmat yang lain. Sesudah Allah menyatakan nikmat mengajarkan Al-Qur’an pada ayat yang lalu, maka pada ayat ini Dia menciptakan jenis makhluk-Nya yang terbaik yaitu manusia dan diajari-Nya pandai mengutarakan apa yang tergores dalam hatinya dan apa yang terpikir dalam otaknya, karena kemampuan berpikir dan berbicara itulah Al-Qur’an bisa diajarkan kepada umat manusia.
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Ia dijadikan-nya tegak, sehingga tangannya lepas. Dengan tangan yang lepas, otak bebas berpikir, dan tangan dapat merealisasikan apa yang dipikirkan oleh otak. Otak menghasilkan ilmu pengetahuan, dan tangan menghasilkan teknologi. Ilmu teknologi adalah peradaban, dengan demikian hanya manusia yang memiliki peradaban.
Dapat dipahami bahwa manusia di ciptakan oleh Allah sebagai sebaik – baik makhluk adalah untuk beribadah kepada Allah. Salah satunya adalah dengan bersyukur atas nikmat – nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka. Berupa akal pikiran dan panca indera. Akal pikiran digunakan untuk memahami ketetapan – ketapan Allah yang tersirat didalam Al-Qur’an agar nantinya dapat menghargai kehidupan yang Allah berikan kepada manusia. Lalu Allah memberikan panca indera agar manusia dapan mengamalkan kebaikan – kebaikan yang sudah ia pelajari dalam Al-Qur’an. Sebagai salah satu contohnya adalah mengajarkan kepada sesama manusia sesuatu yang belum mereka ketahui. Karena tidak semua manusia dapat bersyukur dengan cara yang baik.

b.      Kandungan Surat Al Kahfi ayat 60 – 82
Surah Al Kahfi ayat 60 – 82 diatas berisi kisah yang menceritakan tentang Nabi Musa a.s. yang di perintahkan untuk belajar kepada Nabi Khidir. Pada ayat 60, Allah menceritakan betapa gigihnya tekad Nabi Musa a.s. untuk sampai ke tempat bertemunya dua laut. Berapa tahun sampai kapan pun perjalanan itu harus ditempuh, tidak menjadi soal baginya, asal tempat itu ditemukan dan yang dicari didapatkan. Penyebab Nabi Musa a.s. begitu gigih untuk mencari tempat itu ialah beliau mendapat teguran dan perintah dari Allah karena Nabi Musa a.s. mengaku dirinyalah orang yang paling alim. Allah menegurnya karena beliau tidak mengembalikan ilmu itu kepada Allah. Allah menyuruh Nabi Musa agar menemui orang itu dengan membawa ikan dalam kampil (keranjang), dan dimana saja ikan itu lepas dan hilang di situlah orang itu ditemukan.
Pada ayat 61 diceritakan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusya’ sampai ke pertemuan dua laut, mereka berhenti tetapi tidak tahu bahwa tempat itulah yang harus dituju. Sebab, Allah tidak memberi tahu dengan pasti tempat itu. Hanya saja Allah memberi petunjuk ketika ditanya oleh Nabi Musa sebelum berangkat, petunjuk tersebut ialah saat ikan dalam kampil itu hilang maka Nabi Musa telah sampai pada tempat yang dituju. Diatas sebuah batu besar di tempat itu, Nabi Musa dan muridnya merasa mengantuk dan lelah. Keduanya pun tidur dan lupa pada ikannya. Ketika itu, ikan yang ada di dalam kampil tersebut hidup kembali dan menggelepar – gelepar, lalu keluar dan meluncur menuju laut. Setelah bangun tidur, mereka pun melanjutkan perjalanan. Yusya’ pun lupa tidak menceritakan kepada Nabi Musa kejadian yang aneh tentang ikan yang sudah mati hidup kembali.
Pada ayat 62, Allah menceritakan bahwa keduanya terus melanjutkan perjalannya siang dan malam. Nabi Musa merasa lapar dan berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan ini”. Ayat ini memperlihatkan betapa luhurnya budi pekerti Nabi Musa a.s. dalam bersikap kepada muridnya. Pada ayat 63, Yusya’ menjawab secara jujur bahwa ketika mereka beristirahat dan berlindung di batu tempat bertemunya dua laut, ikan itu telah hidup kembali dan menggelepar – gelepar, lalu masuk ke laut dengan cara  yang sangat mengherankan. Namun, dia lupa dan tidak menceritakan kepada Nabi Musa a.s. Kekhilafan ini bukan karena ia tidak bertanggung jawab, tetapi setan yang menyebabkannya.
Pada ayat 64, mendengar jawaban dari Yusya’, Nabi Musa menyambutnya dengan gembira karena beliau akan bertemu dengan orang yang beliau cari yaitu Nabi Khidir. Mereka kembali ke tempat batu yang digunakan mereka untuk berlindung. Pada ayat 65, dikisahkan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusya’ menelusuri jalan yang mereka lalui sebelumnya, mereka sampai pada batu yang digunakan untuk berlindung. disini mereka bertemu dengan seseorangan yang berselimut kain putih bersih, itulah Nabi Khidir. Nama asli Nabi Khidir ialah Balya bin Mulkan.
Pada ayat 66, Allah mengungkapkan maksud Nabi Musa menemui Nabi Khidir yang tidak lain adalah untuk berguru kepada Nabi Khidir. Kemudian Nabi Musa menyampaikan sendiri maksud kedatangannya kepada Nabi Khidir yaitu agar Nabi Khidir mengajarkan ilmu yang telah diajarkan Allah kepadanya, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh. Sikap Nabi Musa tersebut menggambarkan jelas sikap calon murid kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan. Itu berarti Nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan merendahkan hati. Menurut Al Qadi, sikap demikian memang seharusnya dimiliki oleh setiap pelajar dalam mengajukan pertanyaan kepada gurunya. Pada ayat 67, Nabi Khidir menyuruh Nabi Musa agar bersabar dalam belajar ilmu dengannya. Hal ini disampaikan oleh Nabi Khidir kepada Nabi Musa karena memang demikianlah sifat Nabi Musa yang keras dalam menghadapi kenyataan – kenyataan yang bertentangan dengan syariat yang telah beliau terima dari Allah.
Pada ayat 68, Nabi Khidir menjelaskan sebab – sebab yang akan menguji kesabaran Nabi Musa, yang tidak lain adalah pekerjaan Nabi Khidir yang bertentangan dengan syariat. Pada ayat 69, Nabi Musa berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan menyalahi yang dikerjakan Nabi Khidir. Nabi Musa juga berjanji akan melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya selama itu tidak bertentangan dengan perintah Allah. Pada ayat 70, Nabi Khidir menerima menerima Nabi Musa sebagai muridnya dengan pesan, “Janganlah kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku (Nabi Khidir) maka janganlah kamu menegurku terhadap sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu perbuatan yang tidak dapat kamu benarkan hingga aku sendiri yang mulai menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya”.
Pada ayat 71, perjalanan keduanya pun dimulai. Mereka berjalan di tepi pantai untuk mencari sebuah kapal, dan kemudian mereka mendapatkannya. Keduanya menaiki kapal dengan tidak membayar upah karena para awak kapal sudah mengenal Nabi Khidir. ketika kapan sudah melaju tiba – tiba Nabi Khidir melubangi dan merusak sekeping papan di dinding kapal itu. Melihat kejadian itu, Nabi Musa bertanya kepada Nabi Khidir sebab beliau melubangi kapal itu. Dan mengatakan bahwa Nabi Khidir telah berbuat kerusakan yang besar dan tidak mensyukuri kebaikan hati para awak kapal yang telah membebaskan mereka dari uang sewa kapal. Nabi Musa pun mengambil kainnya untuk menutup lubangn itu. Pada ayat 72, Nabi Khidir mengingatkan kepada Nabi Musa tentang persyaratan yang harus dipenuhinya jika masih ingin menyertai Nabi Khidir dalam perjalanan. Nabi Khidir juga mengingatkan bahwa Nabi Musa takkan bisa bersabar dengan perbuatan – perbuatan yang dikerjakannya, bahkan beliau akan melawan dan menamakan perbuatan – perbuatan yang dikerjakan sebagai kesalahan yang besar, karena Nabi Musa tidak memiliki pengetahuan untuk mengetahui rahasia yang terkandung dibalik perbuatan – perbuatan itu.
Pada ayat 73, Nabi Musa insaf dan mengetahui kealpaannya atas janjinya. Oleh karena itu, dia meminta kepada Nabi Khidir agar tidak menghukumnya karena kealpaannya, dan tidak pula memberatkannya dengan pekerjaan yang sulit dilakukan. Nabi Musa juga meminta kepada Khidir agar diberi kesempatan untuk mengikutinya kembali supaya memperoleh ilmu darinya, dan memaafkan kesalahannya itu. Pada ayat 74, Allah mengisahkan bahwa keduanya mendarat dengan selamat dan tidak tenggelam, kemudian keduanya mendarat dengan selamat dan tidak tenggelam, kemudian keduanya turun dari kapal dan meneruskan perjalanan menyusuri pantai. Kemudian terlihat oleh Khidir seorang anak yang sedang bermain dengan kawan – kawannya, lalu dibunuhnya anak itu. Nabi Musa bertanya kembali mengapa Nabi Khidir membunuh jiwa yang tidak berdosa.
Pada ayat 75, Nabi Khidir mengingatkan kembali persyaratannya kepada Nabi Musa tentang perbuatan – perbuatan yang menuntut Nabi Musa agar bisa bersabar. Pada ayat 76, Nabi Musa menyesal atas pertanyaannya tersebut, dan beliau mengutarakan keinginannya untuk mengetahui hikmat dibali semua perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Khidir. Nabi Musa pun berjanji kepada Nabi Khidir, apabila beliau bertanya satu kali lagi maka Nabi Khidir boleh mencabut izinnya atas keikut sertaannya dalam perjalanan Nabi Khidir.
Pada ayat 77, mereka melanjutkan perjalanan lagi hingga mereka berdua sampai pada suatu negeri. Mereka meminta agar penduduk negeri itu menjamunya tetapi penduduk negeri itu sangat kikir tidak mau memberi jamuan kepada mereka. Penduduk negeri itu sangat rendah akhlaknya. Di negeri itu Musa dan Khidir mendapatkan sebuah dinding rumah yang hampir roboh, maka Nabi Khidir mengusap dengan tangannya, sehingga dinding itu tegak menjadi lurus kembali. Keanehan itu termasuk mukjizatnya. Nabi Musa yang melihat dinding itu ditegakkan kembali. Nabi Musa yang melihat dinding itu ditegakkan kembali oleh Nabi Khidir supaya menerima bayaran atas jasanya karena telah menegakkan dinding itu, yang dengan bayaran itu ia dapat membeli makanan dan minuman yang diperlukannya.
Pada ayat 78, Nabi Khidir berkata kepada Nabi Musa agar keduanya berpisah, hal ini disebabkan karena Nabi Musa tidak memenuhi janjinya untuk tidak bertanya tentang apa yang dilihatnya. Pada ayat 79, Nabi Khidir menerangkan kepada Nabi Musa hikmah perbuatan – perbuatan Nabi Khidir. Pertama, Nabi Khidir sengaja melubangi perahu itu dengan tujuan merusak karena raja dzalim akan berjalan melewati perahu tersebut dan akan mengambil tiap – tiap kapal yang masih bagus. Oleh karena itu, Nabi Khidir ingin menghindarkan perahu itu dari raja yang dzalim karena dianggap rusak, sehingga perahu masih tetap dimanfaatkan oleh pemiliknya dari orang – orang miskin yang mereka tidak mempunyai sesuatu yang dapat dimanfaatkan selain perahu tersebut.
Pada ayat 80, anak yang telah dibunuh oleh Nabi Khidir telah ditetapkan pada hari penetapan sebagai orang kafir. Sebagaimana telah tercantum dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dari Ubay bin Ka’ab, dari Nabi SAW bersabda: “Anak yang dibunuh oleh Khidir itu telah ditetapkan pada hari penetapan sebagai orang kafir”. Nabi khidir menjelaskan bahwa beliau khawatir bahwa anak tersebut akan mendoron kedua orang tuanya yang mukmin itu kepada kesesatan dan kekafiran. Pada ayat 81, setelah Nabi Khidir membunuh anak tersebut beliau berharap bahwa Allah akan memberi rizki kepada orang tua anak tersebut, serta mengganti anak yang telah dibunuhnya dengan anak yang lebih baik, lebih sholeh dan lebih sayang kepada orang tuanya.
Pada ayat 82, adapun dinding rumah yang ditegakkan oleh Nabi Khidir adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di negeri tersebut dan dibawahnya ada harta benda simpanan yakni harta yang terpendam berupa emas dan perak bagi mereka berdua.
E.     Tafsir Hadits yang berkaitan dengan pendidik
Pada hadits pertama, dijelaskan bahwa seorang pendidik harus tahu dan paham dengan materi yang diajarkan kepada anak didik mereka.Materi yang disampaikan haruslah yang bermanfaat bagi anak didiknya.Pada hadits diatas mengambil contoh dari mengajarkan Al – Qur’an kepada anak didiknya.Seorang pendidik harus mempunyai pengalaman yang mendalam dan juga kemampuan yang bagus sebelum dapat mengajar anak didik.Pendidik terlebih dulu mengetahui kaidah – kaidah membaca ayat – ayat kemudian mengetahui juga tentang penafsiran yang terkandung dalam ayat.Hal ini bertujuan agar pendidik dapat mengajarkan kepada anak didiknya antara benar dan salah.
Hadits diatas memberikan gambaran, bahwa seorang guru harus mempunyai sifat takut, yang bisa diperluas dengan menggunakan kata taqwa. Taqwa disini dimaksudkan agar guru senantiasa merasa takut untuk berbuat yang dilarang, agar anak didiknya tidak meniru apa yang dilakukan oleh gurunya. Hal semacam ini yang penting untuk diterapkan oleh guru.Karena tugas seorang guru bukan hanya mengajar atau mentransfer ilmu.Akan tetapi sangat jauh dari pada itu, seorang guru adalah pendidik dari semua aspek yang ada pada manusia baik dari sisi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Selain takut kepada Allah, hadits diatas juga melarang untuk menyombongkan diri dengan ilmu, dan senantiasa mengingat dosa atau kesalahannya lalu meminta ampun kepada Allah SWT.Matan hadits diatas hendaknya dilaksanakan dengan baik dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
F.      Kontekstualisasi isi ayat dan hadits yang terkait.
Seorang yang mempunyai ilmu harus mau mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Itulah cara bersyukur atas nikmat berpikir dari Allah. Namun, sebagai seorang yang mengajarkan ilmu yang dimilikinya haruslah didasari dengan pengetahuan dan pemahaman tentang ilmu tersebut. Pendidik juga harus didasari oleh ketaqwaan agar ia tidak menyalah gunakaan ilmunya tersebut untuk berbuat madharat.
Anak didik juga harus menghormati segala sesuatu yang diajarkan oleh pendidik. Apabila ada ilmu yang menurut anak didik bertentangan dengan syariat, hendaklah bertanya kepada pendidik tersebut agar mau menjelaskan makna ilmu yang diajarkannya kepada anak didik. Seperti halnya Nabi Musa yang bertanya kepada Nabi Khidir tentang perbuatan – perbuatan Nabi Khidir yang bertentangan dengan syariat Allah.




































BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pendidik adalah seseorang yang mempunyai ilmu kemudian memberikannya atau mengajarkannya kepada orang lain baik berupa pengetahuan, keterampilan maupun pengalaman.
2.      Manusia di ciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada Allah. Salah satunya adalah dengan bersyukur atas nikmat – nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka. Sebagai salah satu contohnya adalah mengajarkan kepada sesama manusia sesuatu yang belum mereka ketahui.
3.      Hikmah dari kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir diantaranya jangan merasa sombong dengan ilmu yang kita miliki, karena masih banyak hal yang belum kita ketahui saat ini dan kita masih butuh belajar kepada orang yang lebih mengetahui.
4.      Seorang pendidik harus tahu dan paham dengan materi yang diajarkan kepada anak didik mereka.Materi yang disampaikan haruslah yang bermanfaat bagi anak didiknya.
5.      Seorang pendidik harus mempunyai sifat takut, yang bisa diperluas dengan menggunakan kata taqwa. Taqwa disini dimaksudkan agar pendidik senantiasa merasa takut untuk berbuat yang dilarang, agar anak didiknya tidak meniru apa yang dilakukan oleh gurunya.















DAFTAR PUSTAKA

Agama RI, Departemen. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid V, Jakarta: Lentera Abadi.
Agama RI, Departemen. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid XI, Jakarta: Lentera Abadi.
Bin Muhammad, Abdullah. 2003. Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al – Misbah, Jakarta: Lentera Hati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar