Senin, 02 Mei 2016

Eksistensi Islam dan Budaya Jawa Pada Kolesi Museum Ranggawarsita



Nama               : Romdonah
NIM                : 1403036073
Mata Kuliah   : Islam dan Budaya Jawa 







EKSISTENSI ISLAM DAN BUDAYA JAWA PADA KOLEKSI MUSEUM RANGGAWARSITA
Museum Ranggawarsito merupakan aset pelayanan publik dibidang pelestarian budaya. Pembangunan museum pertama kali dirintis oleh Proyek Rehabilitasi dan Permuseuman Jawa Tengah pada tahun 1975 dan diresmikan Prof. Dr. Fuad Hasan pada tanggal 5 Juli 1989. Museum Ranggawarsito memiliki koleksi yang berjumlah 59.802 buah. Museum Ranggawarsita juga memiliki banyak koleksi yang mengandung nilai-nilai Islam dan Budaya Jawa. Hal tersebut membuktikan eksistensi Islam dalam Budaya Jawa.
Pertama, Jambangan adalah koleksi historika berupa benda yang mempunyai nilai sejarah dalam kurun waktu sejak masuknya budaya barat sampai dengan sekarang. Jambangan berasal dari Lasem Rembang yang berfungsi sebagai wadah air yang digunakan untuk bersuci sebelum memasuki makam tokoh Islam Nyi Ageng Maloka. Beliau adalah tokoh penting penyebar Agama Islam di Rembang. Berdasarkan type nisannya yang terdapat di Troloyo, diperkirakan makam berasal dari abad XV Masehi.
Kedua, Padasan adalah Tempayan tempat air wudlu yang biasanya terletak dihalaman depan makam atau masjid kuno. Padasan ini terletak di kompleks Makam Sunan Bayat di Klaten Jawa Tengah.
Ketiga, Wayang merupakan kebudayaan masyarakat Jawa. Dimana wayang tersebut digunakan oleh Walisongo dalam menyebarkan Agama Islam. Yaitu dengan menyisipkan nilai-nilai Islam dalam pewayangan sehingga pewayangan muncul dengan corak Islam. Seperti penyisipan makna Islam kedalam kisah pewayangan Pandhawa yang diinterelasikan dengan Rukun Islam. Kemudian kisah Yudhistira yaitu tokoh pertama Pandhawa yang memiliki Jimat Kalimasada. Berisi dua kalimat Syahadat yang merupakan kunci yang paling mendasar untuk masuk Islam. Bima yaitu tokoh yang bertubuh kekar dan besar menggambarkan kekuatan. Hal tersebut dikaitkan dengan Rukun Islam yang kedua yaitu Shalat yang merupakan tiang penyangga agama.
Keempat, terdapat karya yang sangat luar biasa yaitu Alqur’an tulisan tangan dari Kota Surakarta, Al-Qur’an yang bersampul kulit dengan hiasan bercorak Eropa dan berhuruf Arab itu diperkirakan dibuat sekitar abad ke-19.
Kelima, yaitu menara kudus yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dan Hindu. Keterpaduan yang terjadi antara Islam dan budaya Jawa ini karena metode dakwah yang digunakan Sunan Kudus pada saat itu adalah menghormati keberagaman. Saat Islam masuk, pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha masih begitu melekat di masyarakat. Akulturasi tersebut mendorong masyarakat untuk menerima Agama Islam sebagai agama baru yang menghargai budaya. Langkah ini diambil Sunan Kudus dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di daerah tersebut.  Sunan Kudus tidak meninggalkan corak-corak budaya yang telah ada. Namun, menyisipkan corak Islam kedalam peninggalan agama yang telah ada sebelumnya. Bentuk menara ini mengingatkan pada bentuk candi corak Jawa Timur. Regol-regol serta gapura terdapat di halaman serambi, dan di dalam masjid bercorak kesenian klasik Jawa Timur. Menara Kudus merupakan bangunan kuno hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Jawa dengan Islam. Di bagian atas menara terdapat kentongan ataupun bedug, jika dalam candi Hindu-Budha adalah sebagai sarana menyampaikan Informasi, sedangkan pada menara kudus ini adalah sebagai sarana mengundang masyarakat Kudus untuk berjamaah (adzan) atau penunjuk waktu shalat. Kemudian pada bagaian atap dibuat dari kayu jati dengan empat tiang penyangga ini sama dengan ciri khas rumah orang-orang Jawa-Hindu yang setelah diadopsi Islam memiliki makna Islam yaitu Iman, Ihsan, dan Ridha.
Keenam, Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam, tepatnya pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Banyak masyarakat mempercayai masjid ini sebagai tempat berkumpulnya para wali penyebar Agama Islam. Para wali sering berdiskusi tentang penyebaran Agama Islam, dan mengajar ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di Jawa dan bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintoro. Masjid Agung Demak mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka, atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap bangunan masjid Demak terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan: (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Juga melambangkan tiga tingkatan  dalam tasawuf yang dari bawah ke atas melambangkan Syariat, Tarikat, dan Makrifat. Pada waktu dibangun atap masjid Demak terbuat dari welit, kemudian tahun 1710 Paku Buana I memerintahkan untuk mengganti welit dengan sirap dari kayu. Dalam tradisi Jawa atap sirap hanya boleh digunakan pada atap-atap rumah pada bangsawan. Sirap terbuat dari kayu jati tua yang lurus.