Rabu, 30 Desember 2015

Manusia sebagai makhluk pembelajar



Manusia Sebagai Makhluk Pembelajar

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allah menciptakan manusia di muka bumi ini sebagai makhluk yang sempurna. Allah memberikan kesempurnaan kepada manusia berupa akal yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Akal tersebut digunakan untuk berpikir tentang ciptaan Allah di alam semesta lalu menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang belum pernah ditemukan. Manusia juga dituntut untuk selalu mengembangkan ilmu pengetahuan secara baik.
Ilmu pengetahuan yang telah ditemukan akan terus berkembang seiring kemajuan teknologi dan informasi yang didapatkan oleh setiap orang, memunculkan pemikiran-pemikiran baru khususnya dalam dunia pendidikan karena setiap orang akan mempunyai motivasi untuk terus menggali potensi dalam dirinya, sehingga manusia disebut sebagai makhluk pembelajar.
Dalam Al-Qur’an Allah telah berfirman “....niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ...” (Q.S Al-Mujadilah: 11), dan Rasulullah juga bersabda طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ .
Akan tetapi, dalam perkembangan kemajuan teknologi dan informasi banyak manusia yang telah memanfaatkan di jalan yang salah, dan mendapatkan dengan cara yang salah juga.






B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian manusia sebagai makhluk pembelajar?
2.      Apa ayat Al-Qur’an tentang manusia sebagai makhluk pembelajar?
3.      Apa hadits tentang manusia sebagai makhluk pembelajar?
4.      Bagaimana tafsir Al-Qur’an tentang manusia sebagai makhluk pembelajar?
5.      Bagaimana penjelasan hadits tentang manusia sebagai maklhuk pembelajar?
6.      Bagaimana kontekstualisasi isi ayat dan hadits yang terkait?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Manusia sebagai makhluk pembelajar
Secara etimologi kata manusia berarti makhluk yang memiliki tiga dimensi, yaitu badan, akal, dan ruh (Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany). Sedangkan secara terminologi, manusia adalah makhluk sosial yang memiliki akal pikiran yang berkembang dan dapat dikembangkan.
Pembelajar adalah orang yang melakukan proses pembelajaran, dimana proses itu bukan saja memerlukan waktu yang banyak, melainkan biaya, konsentrasi, dan lingkungan yang kondusif.
Maka dari itu, manusia sebagai makhluk pembelajar adalah makhluk yang memiliki akal pikiran dan sedang melakukan proses mencari ilmu pengetahuan.

2.      Ayat Al-Qur’an tentang manusia sebagai makhluk pembelajar
Ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk pembelajar terdapat dalam Surah Ar-Ruum ayat 30 dan Surah Al-Israa ayat 70.
a.       Q.S Ar-Ruum/30 ayat 30
فَأَ قِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا ج فِطْرَتَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسِ عَلَيْهَا ج لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ج ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ اَكْثَرَالنَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(Ar-Rum/30: 30)

b.      Q.S Al-Israa/17 ayat 30
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى آدَمَ وَحَمَلْنَا هُمْ فِي الْبَرِّوَ الْبَحْرِ وَرَزَقْنَا هُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَا هُمْ عَلَي كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا 
Artinya: “Dan sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya, kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya.”(Q.S Al-Isra’/17: 70)

3.      Hadits tentang manusia sebagai makhluk pembelajar
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِقَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَبْتَغِيْ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ(رواه مسلم)
Artinya: “Abu Ad-Darda’, ia berkata, “aku mendengar Rosulallah SAW. Bersabda ,’Barangsiapa yang menempuh jalan mencari ilmu, akan dimudahkan Allah jalan untuknya ke Surga..” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud, dan Ad-Darimi).
4.      Tafsir Al-Qur’an tentang manusia sebagai makhluk pembelajar
a.       Tafsir Q.S Ar-Ruum/30: ayat 30
      Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad meneruskan tugasnya dalam menyampaikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrik yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah” terdapat perintah kepada Nabi Muhammad untuk mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. Disini “fitrah” diartikan “agama” karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surah yang lain:




وَمَا خَلَقْتَ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ
Artinya:“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Az-Zariyat /51: 56)
Kata فِطْرَةَاللهِ) (, fitratallah artinya ciptaan Allah. Berasal dari kata kerja atau fi’ilfatara-yafturu-fitratan au futuran artinya menciptakan, tumbuh, terbit, berbuka puasa atau makan pagi. Pada ayat 30 surah Ar-Rum ini Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk menghadapkan muka kepada-Nya dalam rangka melaksanakan dakwah menyebarkan agama Allah kepada seluruh umat manusia. Agama Allah merupakan ciptaan (fitrah-Nya) untuk kebaikan seluruh umat manusia.  Oleh karena itu, Nabi tidak perlu merasa sedih karena masih banyak orang-orang Makkah yang musyrik dan tidak mau mengikuti petunjuk yang benar. Agama Islam yang benar ini akan terus berkembang dan diikuti oleh manusia-manusia yang lain, meskipun orang-orang Makkah menolaknya.
Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٌ اِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةُ
Artinya: “Tidak ada seorang anak pun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah.”
Kata (فَأَ قِمْ وَجْهَكَ) , yang dimaksud adalah perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan upaya menghadapkan diri kepada Allah, secara sempurna karena selama ini kaum Muslimin apalagi Nabi Muhammad saw telah menghadapkan wajah kepada tuntutan agama-Nya. .[1]
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, bahwa setiap manusia diciptakan atas dasar keimanan kepada Allah bahkan atas potensi mengetahui persoalan-persoalan sebagaimana adanya, yakni bagaikan tercakup dalam dirinya karena adanya potensi pengetahuan.[2]
b.      Tafsir Q.S Al-Israa’/17 ayat 70
Allah memuliakan Bani Adam yaitu manusia dari makhluk-makhluk yang lain, baik malaikat,jin,hewan,dan tumbuh-tumbuhan.Kelebihan manusia dari makhluk Allah baik fisik maupun non fisik.
Selain diberi panca indra yang sempurna,manusia juga diberi hati yang berfungsi untuk menimbang dan membuat keputusan.Firman Allah:
وَاللهُ اَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْ نِ اُمَّهَا تِكُمْ لَا َتَعْلْمُوْنَ شَيْاً وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَاْللَافْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya:“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” (QS.An-nahl/16:78)
Manusia adalah makhluk yang unik memiliki kehormatan dalam kedudukannya sebagai manusia baik ia taat beragama atau tidak.Dengan bersumpah sambil mengukuhkan pernyataan-Nya dengan kata (قَدْ)qad ayat ini menyatakan bahwa Kami yakni Allah bersumpah bahwa sesungguhnya telah kami muliakan anak cucu adam, dengan bentuk tubuh yang bagus. Kemampuan berbicara dan berpikir, serta pengetahuan dan Kami beri juga kebebasan memilih.
Dan Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,maksud dari arti ayat ini adalah Allah juga menciptakan alat transportasi yang kami ciptakan dan kami tundukkan dan yang kami ilhami pembuatannya,agar mereka dapat menjelajahi bumi dan angkasa yang semuanya Kami ciptakan untuk mereka.
Allah menciptakan akal agar manusia dapat membuat sesuatu untuk memenuhi kebutuhan mereka.Dan tidak lupa adanya alam semesta ini, agar manusia dapat menjelajahi dengan alat yang mereka buat.
Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang saat ini membuat manusia tidak haus akan ilmu,sekarang siapapun, dimanapun, dan kapanpun seseorang dapat memperoleh ilmu.Motivasi untuk selalu belajar diperoleh jika kita yakin bahwa Allah itu menciptakan alam semesta ini untuk manusia secara keseluruhan.
Terdapat perbedaan antara (فَضَّلْنَا) dan (كَرَّمْنَا). Kata pertama (فَضَّلَ ) yakni kelebihan, kata tersebut maksudnya “penambahan” dari apa yang sebelumnya telah di miliki oleh orang lain. Semua rezeki mahkluk, telah di jamin Allah. Kelebihan rezeki ini yang membeda-bedakan seseorang dengan yang lain dalam bidang rezekinya. Kata kedua yaitukarromna maksudnya manusia di anugerahi Allah keistimewaan yang tidak di anugerahkan pada mahkluk lain, inilah yang menjadikan manusia mulia serta harus dihormati sebagai manusia.[3]
5.      Penjelasan hadits tentang manusia sebagai makhluk pembelajar.
Dalam Hadits diatas, bahwa keutamaan orang yang mencari ilmu, dalam hal ini adalah manusia sebagi makhluk pembelajar adalah dimudahkan Allah baginya jalan menuju surga.
Maksud dari dimudahkan Allah baginya  jalan menuju surga adalah ilmunya itu akan memberikan kemudahan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkannya masuk surga. Dengan ilmu, seseorang mengetahui kewajiban yang harus dikerjakan dan larangan yang harus dijauhi. Ia memahami hal-hal yang merusak akidah dan ibadahnya. Ilmu yang dimilikinya membuat ia dapat membedakan yang halal dari yang haram. Dengan demikian, orang yang memiliki ilmu pengetahuan itu tidak merasa kesulitan untuk mengerjakan hal-hal yang dapat membawanya ke dalam surga.[4]
Dengan demikian, secara tersirat bahwa sebagai manusia yang telah diberi akal pikiran oleh Allah harus semaksimal mungkin dalam menggunakan akal pikiran dengan melakukan hal-hal positif, tidak menyalahgunakan ilmu, meningkatkan kualitas ibadah dan memperkuat akidah kepada Allah.

6.      Kontekstualisasi isi ayat dan hadits dalam bidang pendidikan
Pada zaman modern ini, seseorang mencari ilmu pengetahuan dengan cara yang mudah. Namun terkadang manusia tidak menyadari cara yang telah mereka gunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Contoh yang umum adalah manusia mengambil karya seseorang untuk dijadikan karya mereka. Tidak mau berusaha mendapatkan dengan usaha sendiri, sebagian justru menganggap hal tersebut sudah biasa. Karena terlalu sulit berpikir, sehingga tidak menggunakan akal yang notabene adalah fitrah yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia secara maksimal. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa mengambil karya orang lain bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.
Contoh lain, manusia saat ini kebanyakan menyalahgunakan ilmu tersebut untuk korupsi, menipu orang lain, ibadah sebagai bahan untuk mencari uang, dan lain sebagainya. Terkadang diantara mereka, seorang pembelajar hanya menginginkan suatu gelar atau ijazah. Mereka melakukan segala cara, diantaranya adalah menyontek ketika ujian berlangsung.
Sesungguhnya manusia diberi oleh Allah akal untuk berfikir, untuk menuntut ilmu. Manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah dan menjadi khalifah di muka bumi. Kedua itu dilakukan hanya dengan ia harus memiliki ilmu.
Umat Islam berpegang teguh pada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Hal tersebut menjadi dasar dalam mengembangkan sikap dan juga kepribadian untuk menanggapi masalah dalam kehidupan zaman modern ini. Dengan adanya permasalahan kontekstualisasi tersebut diharapkan agar manusia dapat memanfaatkan akal pikirannya, dengan tidak menghilangkan fitrah manusia sebagai makhluk pemikir sekaligus pembelajar yang dimuliakan oleh Allah.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan masalah diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Manusia sebagai makhluk pembelajar adalah makhluk yang memiliki akal pikiran dan sedang melakukan proses mencari ilmu pengetahuan.
2.      Dengan akal pikiran dituntut untuk mengembangkan dan menggali potensi yang ada pada diri manusia.
3.      Tidak menyalahgunakan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia


















DAFTAR PUSTAKA

Agama RI, Departemen. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid V, Jakarta: Lentera Abadi.
Agama RI, Departemen. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid VII, Jakarta: Lentera Abadi.
Khon, Abdul Majid. 2012. Hadis Tarbawi, Jakarta: Kencana Prenada Media
Shihab, M Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah: Pesan, KesandanKeserasian Al-Qur’an, Jakarta: LenteraHati
Umar, Bukhori. 2004. Hadis Tarbawi, Jakarta: Amzah




[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid VII, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm: 495-496
[2]M. QuraishShihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, KesandanKeserasian Al-Qur’an, (Jakarta: LenteraHati, 2002) hlm: 53
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm: 175-178
[4] Hadis Tarbawi, Bukhori Umar, M.Ag, (Jakarta: Amzah, 2004), hlm: 15-18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar