Manusia Sebagai Makhluk Pembelajar
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Allah menciptakan manusia di muka bumi ini sebagai makhluk yang
sempurna. Allah memberikan kesempurnaan kepada manusia berupa akal yang tidak
dimiliki oleh makhluk lain. Akal tersebut digunakan untuk berpikir tentang
ciptaan Allah di alam semesta lalu menghasilkan ilmu pengetahuan baru yang
belum pernah ditemukan. Manusia juga dituntut untuk selalu mengembangkan ilmu
pengetahuan secara baik.
Ilmu pengetahuan yang telah ditemukan akan terus berkembang seiring
kemajuan teknologi dan informasi yang didapatkan oleh setiap orang, memunculkan
pemikiran-pemikiran baru khususnya dalam dunia pendidikan karena setiap orang
akan mempunyai motivasi untuk terus menggali potensi dalam dirinya, sehingga
manusia disebut sebagai makhluk pembelajar.
Dalam Al-Qur’an Allah telah berfirman “....niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat ...” (Q.S
Al-Mujadilah: 11), dan Rasulullah juga bersabda طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ .
Akan tetapi, dalam perkembangan
kemajuan teknologi dan informasi banyak manusia yang telah memanfaatkan di
jalan yang salah, dan mendapatkan dengan cara yang salah juga.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian manusia sebagai makhluk pembelajar?
2.
Apa ayat
Al-Qur’an tentang manusia sebagai makhluk pembelajar?
3.
Apa
hadits tentang manusia sebagai makhluk pembelajar?
4.
Bagaimana
tafsir Al-Qur’an tentang manusia sebagai makhluk pembelajar?
5.
Bagaimana
penjelasan hadits tentang manusia sebagai maklhuk pembelajar?
6.
Bagaimana
kontekstualisasi isi ayat dan hadits yang terkait?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Manusia
sebagai makhluk pembelajar
Secara
etimologi kata manusia berarti makhluk yang memiliki tiga dimensi, yaitu badan,
akal, dan ruh (Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany). Sedangkan secara
terminologi, manusia adalah makhluk sosial yang memiliki akal pikiran yang
berkembang dan dapat dikembangkan.
Pembelajar adalah
orang yang melakukan proses pembelajaran, dimana proses itu bukan saja
memerlukan waktu yang banyak, melainkan biaya, konsentrasi, dan lingkungan yang
kondusif.
Maka dari itu, manusia
sebagai makhluk pembelajar adalah makhluk yang memiliki akal pikiran dan sedang
melakukan proses mencari ilmu pengetahuan.
2.
Ayat
Al-Qur’an tentang manusia sebagai makhluk pembelajar
Ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk pembelajar
terdapat dalam Surah Ar-Ruum ayat 30 dan Surah Al-Israa ayat 70.
a. Q.S Ar-Ruum/30 ayat 30
فَأَ قِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا ج فِطْرَتَ اللهِ
الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسِ عَلَيْهَا ج لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ج
ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ اَكْثَرَالنَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah
disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”(Ar-Rum/30: 30)
b. Q.S Al-Israa/17 ayat 30
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِى آدَمَ وَحَمَلْنَا هُمْ فِي الْبَرِّوَ الْبَحْرِ وَرَزَقْنَا
هُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَا هُمْ عَلَي كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا
تَفْضِيْلًا
Artinya: “Dan
sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya, kemudian
kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka akan mendapat pahala yang tidak
putus-putusnya.”(Q.S Al-Isra’/17: 70)
3.
Hadits
tentang manusia sebagai makhluk pembelajar
عَنْ أَبِيْ
الدَّرْدَاءِقَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَبْتَغِيْ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ
طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ(رواه مسلم)
Artinya: “Abu Ad-Darda’, ia
berkata, “aku mendengar Rosulallah SAW. Bersabda ,’Barangsiapa yang menempuh
jalan mencari ilmu, akan dimudahkan Allah jalan untuknya ke Surga..” (HR.
At-Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud, dan Ad-Darimi).
4.
Tafsir
Al-Qur’an tentang manusia sebagai makhluk pembelajar
a.
Tafsir
Q.S Ar-Ruum/30: ayat 30
Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad meneruskan
tugasnya dalam menyampaikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrik yang keras
kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat “Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah” terdapat perintah
kepada Nabi Muhammad untuk mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan
mengikuti fitrah Allah. Disini “fitrah” diartikan “agama” karena
manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman
Allah dalam surah yang lain:
وَمَا خَلَقْتَ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ
Artinya:“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. Az-Zariyat /51: 56)
Kata فِطْرَةَاللهِ) (, fitratallah artinya ciptaan Allah. Berasal
dari kata kerja atau fi’ilfatara-yafturu-fitratan au futuran artinya
menciptakan, tumbuh, terbit, berbuka puasa atau makan pagi. Pada ayat 30 surah
Ar-Rum ini Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk menghadapkan muka kepada-Nya
dalam rangka melaksanakan dakwah menyebarkan agama Allah kepada seluruh umat
manusia. Agama Allah merupakan ciptaan (fitrah-Nya) untuk kebaikan seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, Nabi tidak perlu
merasa sedih karena masih banyak orang-orang Makkah yang musyrik dan tidak mau
mengikuti petunjuk yang benar. Agama Islam yang benar ini akan terus berkembang
dan diikuti oleh manusia-manusia yang lain, meskipun orang-orang Makkah
menolaknya.
Sehubungan
dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu
Hurairah:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٌ اِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةُ
Artinya: “Tidak
ada seorang anak pun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah.”
Kata (فَأَ قِمْ وَجْهَكَ) , yang dimaksud adalah perintah untuk
mempertahankan dan meningkatkan upaya menghadapkan diri kepada Allah, secara
sempurna karena selama ini kaum Muslimin apalagi Nabi Muhammad saw telah
menghadapkan wajah kepada tuntutan agama-Nya. .[1]
Dalam Ihya’
‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, bahwa setiap manusia diciptakan atas dasar
keimanan kepada Allah bahkan atas potensi mengetahui persoalan-persoalan
sebagaimana adanya, yakni bagaikan tercakup dalam dirinya karena adanya potensi
pengetahuan.[2]
b.
Tafsir
Q.S Al-Israa’/17 ayat 70
Allah
memuliakan Bani Adam yaitu manusia dari makhluk-makhluk yang lain, baik
malaikat,jin,hewan,dan tumbuh-tumbuhan.Kelebihan manusia dari makhluk Allah
baik fisik maupun non fisik.
Selain diberi panca indra yang
sempurna,manusia juga diberi hati yang berfungsi untuk menimbang dan membuat
keputusan.Firman Allah:
وَاللهُ
اَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْ نِ اُمَّهَا تِكُمْ لَا َتَعْلْمُوْنَ شَيْاً وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَاْللَافْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya:“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
apapun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu
bersyukur.” (QS.An-nahl/16:78)
Manusia adalah makhluk yang unik
memiliki kehormatan dalam kedudukannya sebagai manusia baik ia taat beragama
atau tidak.Dengan bersumpah sambil mengukuhkan pernyataan-Nya dengan kata (قَدْ)qad ayat ini
menyatakan bahwa Kami yakni Allah bersumpah bahwa sesungguhnya telah kami
muliakan anak cucu adam, dengan bentuk tubuh yang bagus. Kemampuan
berbicara dan berpikir, serta pengetahuan dan Kami beri juga kebebasan memilih.
Dan Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan,maksud dari arti ayat ini adalah Allah
juga menciptakan alat transportasi yang kami ciptakan dan kami tundukkan dan
yang kami ilhami pembuatannya,agar mereka dapat menjelajahi bumi dan angkasa
yang semuanya Kami ciptakan untuk mereka.
Allah menciptakan akal agar manusia
dapat membuat sesuatu untuk memenuhi kebutuhan mereka.Dan tidak lupa adanya
alam semesta ini, agar manusia dapat menjelajahi dengan alat yang mereka buat.
Ilmu pengetahuan yang semakin
berkembang saat ini membuat manusia tidak haus akan ilmu,sekarang siapapun,
dimanapun, dan kapanpun seseorang dapat memperoleh ilmu.Motivasi untuk selalu
belajar diperoleh jika kita yakin bahwa Allah itu menciptakan alam semesta ini
untuk manusia secara keseluruhan.
Terdapat perbedaan antara (فَضَّلْنَا) dan (كَرَّمْنَا). Kata pertama (فَضَّلَ ) yakni kelebihan,
kata tersebut maksudnya “penambahan” dari apa yang sebelumnya telah di miliki
oleh orang lain. Semua rezeki mahkluk, telah di jamin Allah. Kelebihan rezeki
ini yang membeda-bedakan seseorang dengan yang lain dalam bidang rezekinya.
Kata kedua yaitukarromna maksudnya manusia di anugerahi Allah keistimewaan yang tidak di
anugerahkan pada mahkluk lain, inilah yang
menjadikan manusia mulia serta harus dihormati sebagai manusia.[3]
5.
Penjelasan
hadits tentang manusia sebagai makhluk pembelajar.
Dalam
Hadits diatas, bahwa keutamaan orang yang mencari ilmu, dalam hal ini adalah
manusia sebagi makhluk pembelajar adalah dimudahkan Allah baginya jalan menuju
surga.
Maksud
dari dimudahkan Allah baginya jalan
menuju surga adalah ilmunya itu akan memberikan kemudahan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkannya masuk surga. Dengan ilmu,
seseorang mengetahui kewajiban yang harus dikerjakan dan larangan yang harus
dijauhi. Ia memahami hal-hal yang merusak akidah dan ibadahnya. Ilmu yang
dimilikinya membuat ia dapat membedakan yang halal dari yang haram. Dengan
demikian, orang yang memiliki ilmu pengetahuan itu tidak merasa kesulitan untuk
mengerjakan hal-hal yang dapat membawanya ke dalam surga.[4]
Dengan
demikian, secara tersirat bahwa sebagai manusia yang telah diberi akal pikiran
oleh Allah harus semaksimal mungkin dalam menggunakan akal pikiran dengan
melakukan hal-hal positif, tidak menyalahgunakan ilmu, meningkatkan kualitas
ibadah dan memperkuat akidah kepada Allah.
6. Kontekstualisasi
isi ayat dan hadits dalam bidang pendidikan
Pada
zaman modern ini, seseorang mencari ilmu pengetahuan dengan cara yang mudah.
Namun terkadang manusia tidak menyadari cara yang telah mereka gunakan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan. Contoh yang umum adalah manusia mengambil karya
seseorang untuk dijadikan karya mereka. Tidak mau berusaha mendapatkan dengan
usaha sendiri, sebagian justru menganggap hal tersebut sudah biasa. Karena
terlalu sulit berpikir, sehingga tidak menggunakan akal yang notabene adalah
fitrah yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia secara maksimal. Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa mengambil karya orang lain bisa dikategorikan
sebagai tindak pidana.
Contoh
lain, manusia saat ini kebanyakan menyalahgunakan ilmu tersebut untuk korupsi,
menipu orang lain, ibadah sebagai bahan untuk mencari uang, dan lain sebagainya.
Terkadang diantara mereka, seorang pembelajar hanya menginginkan suatu gelar atau ijazah.
Mereka melakukan segala cara, diantaranya adalah menyontek ketika ujian
berlangsung.
Sesungguhnya
manusia diberi oleh Allah akal untuk berfikir, untuk menuntut ilmu. Manusia
diciptakan oleh Allah untuk beribadah dan menjadi khalifah di muka bumi. Kedua
itu dilakukan hanya dengan ia harus memiliki ilmu.
Umat
Islam berpegang teguh pada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Hal tersebut
menjadi dasar dalam mengembangkan sikap dan juga kepribadian untuk menanggapi
masalah dalam kehidupan zaman modern ini. Dengan adanya permasalahan
kontekstualisasi tersebut diharapkan agar manusia dapat memanfaatkan akal
pikirannya, dengan tidak menghilangkan fitrah manusia sebagai makhluk pemikir
sekaligus pembelajar yang dimuliakan oleh Allah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan masalah diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Manusia sebagai makhluk pembelajar adalah makhluk yang memiliki
akal pikiran dan sedang melakukan proses mencari ilmu pengetahuan.
2. Dengan
akal pikiran dituntut untuk mengembangkan dan menggali potensi yang ada pada
diri manusia.
3. Tidak
menyalahgunakan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia
DAFTAR
PUSTAKA
Agama RI, Departemen. 2010. Al-Qur’an
dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid V, Jakarta: Lentera Abadi.
Agama RI, Departemen. 2010. Al-Qur’an
dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) Jilid VII, Jakarta: Lentera Abadi.
Khon, Abdul Majid. 2012. Hadis
Tarbawi, Jakarta: Kencana Prenada Media
Shihab, M
Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah: Pesan, KesandanKeserasian Al-Qur’an,
Jakarta: LenteraHati
Umar, Bukhori. 2004. Hadis Tarbawi,
Jakarta: Amzah
[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang
Disempurnakan) Jilid VII, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm: 495-496
[2]M. QuraishShihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan,
KesandanKeserasian Al-Qur’an, (Jakarta: LenteraHati, 2002) hlm: 53
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang
Disempurnakan) Jilid V, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm: 175-178
[4] Hadis Tarbawi, Bukhori Umar, M.Ag, (Jakarta: Amzah, 2004), hlm: 15-18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar